Benteng Rupiah Diuji Tekanan Global, BI Diprediksi Tahan Suku Bunga pada RDG November

“Ilustrasi gedung Bank Indonesia dengan grafik pergerakan Rupiah dan ketegangan pasar global.”

Jakarta — Tekanan terhadap stabilitas Rupiah semakin meningkat di tengah menguatnya Dolar AS, eskalasi konflik Asia Timur, dan melambatnya arus modal asing. Di saat IHSG masih mencatat kinerja positif, para analis menilai pasar tengah memasuki fase berisiko tinggi yang tidak terlihat di permukaan. Bank Indonesia (BI) pun diperkirakan menahan suku bunga acuan pada RDG 19 November 2025.

Konsensus pasar memperkirakan BI Rate tetap di 4,75%, seiring fokus utama BI yang kini bergeser dari dorongan stimulus ke stabilisasi Rupiah. Sepanjang 2025, BI telah memangkas suku bunga 125 basis poin, namun ruang pelonggaran dinilai sudah terbatas.

Rupiah tercatat hanya menguat satu kali dalam enam hari terakhir, dan melemah 0,7% selama sebulan terakhir. Di sisi lain, penguatan indeks Dolar AS (DXY) serta naiknya imbal hasil Treasury AS membuat risiko capital outflow semakin besar jika BI kembali menurunkan bunga.

“Keputusan menahan BI Rate menjadi pilihan paling aman untuk menjaga daya tarik SBN dan mempertahankan stabilitas Rupiah,” ujar seorang analis pasar uang. Namun demikian, bunga kredit riil akan tetap tinggi sehingga pemulihan sektor properti dan konsumsi diperkirakan berjalan lebih lambat. Peluang pemangkasan suku bunga baru terbuka pada kuartal I-2026, ketika tekanan global mereda.

FDI Masih ‘Nyangkut’ di Singapura, Rupiah Rentan Tambahan Tekanan

Di sisi lain, pemerintah menyoroti masalah struktural aliran investasi asing (FDI). Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menyebut banyak investasi Amerika Serikat yang masuk ke Indonesia justru “parkir” lebih dulu di Singapura.

Kondisi ini terjadi akibat kendala kemudahan berusaha, kepastian hukum, hingga insentif investasi yang belum optimal. Akibatnya, cadangan devisa RI tidak tumbuh maksimal dan membuat ketahanan Rupiah lebih mudah terganggu oleh gejolak eksternal.

Monasit & Rare Earth: Aset Strategis Baru dari Tambang Timah

Temuan kandungan monasit—bahan baku nuklir—dan rare earth di area tambang timah membuka peluang baru bagi Indonesia dalam teknologi hijau. Jika hilirisasi dikelola dengan baik, valuasi MIND ID dan PT Timah diperkirakan bisa meningkat signifikan.

Sementara itu, Menteri Investasi Bahlil Lahadalia memastikan impor minyak dari AS akan dimulai Desember mendatang sebagai strategi diversifikasi energi dan stabilisasi pasokan nasional.

Konflik China–Jepang Picu Kekhawatiran Regional

Eskalasi konflik fisik antara China dan Jepang kini menimbulkan korban jiwa nyata dan gelombang pengungsian hingga 500.000 orang. Kondisi ini memicu kekhawatiran rantai pasok global, terutama bagi Indonesia yang bergantung pada logistik dan suku cadang dari Asia Timur.

Selain potensi supply chain shock, anjloknya permintaan komoditas dari China seperti CPO, batu bara, dan nikel dapat menekan pendapatan ekspor Indonesia. Bursa Asia juga bergerak melemah, mencerminkan preferensi investor terhadap aset likuid.


Data AS Lemah: Klaim Pengangguran Naik

Sentimen global turut ditekan oleh kenaikan continuing jobless claims di AS yang mencapai 1,957 juta, tertinggi sejak awal Agustus. Data tenaga kerja yang melemah menambah ketidakpastian arah kebijakan suku bunga The Fed.


Investor Diminta Tetap Selektif

Dengan kombinasi tekanan geopolitik, perlambatan global, dan ketidakpastian suku bunga, pelaku pasar diminta berhati-hati.

Big banks diprediksi tetap defensif dengan BI Rate stabil
• Sektor komoditas dan industri berisiko tertekan akibat potensi gangguan permintaan global
• Volatilitas pasar diperkirakan meningkat jika konflik Asia Utara terus bereskalasi

Kondisi pasar saat ini dinilai rawan oleh euforia jangka pendek yang dapat menutupi risiko besar yang terus berkembang di bawah permukaa

Tag:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *