Sumatra Sedang Tenggelam Pelan-Pelan, Moratorium Hutan Harga Mati

Banjir bandang yang melanda wilayah Sumatra pada akhir 2025 akibat kerusakan hulu dan curah hujan ekstrem."

Jakarta — Rentetan banjir bandang, longsor, dan bencana hidrometeorologi yang melanda Pulau Sumatra di penghujung 2025 menjadi alarm keras atas kondisi lingkungan yang kian kritis. Editor-in-Chief National Geographic Indonesia, Didi Kasim, menegaskan bahwa Sumatra kini berada dalam status “darurat ekologis” dan membutuhkan langkah penyelamatan yang tidak lagi bisa ditawar.

Di penghujung 2025, Sumatra seperti sedang tenggelam pelan-pelan,” ujar Didi dalam pernyataannya, merujuk pada banjir bandang di Tapanuli Selatan dan Tapanuli Tengah, longsor di dataran tinggi Gayo, hingga trauma galodo yang kembali menimpa Sumatera Barat.

Siklon Tropis Bertemu Tanah Kritis

Analisis National Geographic Indonesia mencatat bahwa akhir November 2025 ditandai oleh munculnya Siklon Tropis Koto dan Bibit Siklon 95B. Kedua fenomena ini membawa curah hujan ekstrem ke wilayah utara dan tengah Sumatra. Namun, menurut Didi, bencana tidak semata dipicu faktor cuaca.

"Kawasan hutan di Sumatra yang terdegradasi, memicu darurat ekologis dan desakan moratorium penebangan hutan."

“Ini terjadi karena siklon tropis bertemu tanah kritis,” tegasnya.

Kerusakan di wilayah hulu menyebabkan sungai-sungai di Sumatra kehilangan daya tampung dan kestabilannya.

Hulu yang berubah, bukit yang teriris, dan tutupan hutan yang terpecah membuat sungai kehilangan akal sehatnya. Air bukan sekadar keruh, ia membawa bubur lumpur pekat bercampur gelondongan kayu,” kata Didi menggambarkan parahnya kerusakan.

Luka di Lanskap Konservasi: Batang Toru dan Tesso Nilo Terancam

Selain berdampak pada permukiman, bencana ini memicu degradasi serius pada kawasan konservasi dan habitat satwa kunci yang selama ini jarang menjadi fokus pembicaraan publik.

  • Batang Toru (Sumatera Utara): Rumah terakhir orangutan Tapanuli yang kini menyimpan “luka” akibat degradasi lingkungan.
  • Tesso Nilo (Riau): Kawasan konservasi yang menjadi saksi bisu penyempitan hutan gambut dan habitat gajah Sumatra.

Di dataran tinggi Gayo, tanah yang rapuh runtuh bersama harapan warganya. Sementara di Sumatera Barat, rangkaian banjir bandang dan longsor yang berulang mencerminkan kondisi struktural lingkungan yang semakin memburuk.

Desakan Moratorium Total di Leuser dan Bukit Barisan

Menanggapi kondisi ini, Didi Kasim mendesak pemerintah di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat untuk mengambil langkah berani berupa moratorium total penebangan hutan alam, terutama di Kawasan Ekosistem Leuser dan bentang alam Bukit Barisan.

Saatnya berhenti. Tidak separuh hati, tidak setengah langkah. Pemerintah Aceh, Sumut, dan Sumbar harus berani mengambil kebijakan moratorium penebangan hutan alam secara total,” ujarnya.

Didi menegaskan bahwa masa depan Sumatra sangat bergantung pada keberanian memperbaiki kerusakan ekologis dari hulu.

Jika kita benar-benar mendengar teguran alam tahun ini, kita tahu satu hal: masa depan tidak harus basah oleh penyesalan. Selama kita berani memperbaiki dari hulunya, Sumatra masih punya kesempatan untuk tumbuh tanpa rasa takut setiap kali langit menggelap,” tutupnya.

(Sumber Statmen : @didikasim)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *